Masarif zakat
(QS. 9 : 60)menjelaskan tentang mustahik zakat
1. Fakir
Beberapa ulama memiliki pendapat
masing-masing tentang arti dari fakir. Kempat ulama itu adalah Syafi'i, Hanafi, Hambali dan Maliki.
Berikut adalah arti fakir dari masing-masing Imam:
Syafi'i: Fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha; atau mempunyai usaha atau harta yang kurang dari seperdua kecukupannya, dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya.
Hanafi: Fakir ialah
orang yang mempunyai harta kurang dari senishab atau mempunyai senishab atau
lebih, tetapi habis untuk memenuhi kebutuhannya
Hambali: Fakir ialah
orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta kurang dari seperdua
keperluannya.
Maliki: Fakir ialah
orang yang mempunyai harta, sedang hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya
dalam masa satu tahun, atau orang yang memiliki penghasilan tapi tidak
mencukupi kebutuhannya, maka diberi zakat sekadar mencukupi kebutuhannya.
Dr. Yusuf Qardhawi: Orang yang tidak mempunyai
harta dan usaha sama sekali, atau mempunyai harta atau usaha tetapi tidak
mencukupi untuk diri sendiri dan keluarganya ( penghasilan tidak
memenuhibseparuhbatau kurang dari kebutuhan)mata pencaharian, tetapi
penghasilannya tidak mencapai separuh dari yang dibutuhkannya.
2.
Miskin
Syafi’I, Hambali,
dan Maliki:
Orang yang masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan
pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Dr. Yusuf Qardhawi: Orang yang
mempunyai mata pencaharian, dan penghasilannya mencapai separuh atau lebih dari
yang dibutuhkan, namun belum mencukupinya.
3. Amil zakat
Syarat-syarat
amil zakat
Muslim (utama),
mukallaf (sht akal), shiddiq, paham hukum zakat, kuat (mampu) QS. 28 : 26, laki2 (utama),
merdeka (utama)
4. Muallaf
- Orang yang diharapkan keislamanannya
atau kesilaman kelompok atau keluarganya
- Orang atau gol. Yang dikuatirkan
berbuat jahat(mencegah kejahatannya)
- Orang atau gol. Yg baru masuk Islam
(walau kaya)
- Pemimpin/tomasy yg telah masuk Islam
dan punya sahabat2 kafir (menarik simpati)
- Pemimpin/tokoh kaum muslimin yg
berpengaruh di kalangannnya, tapi imannya masih lemah (munafik, lemah iman)
- Kaum muslimin yang berada di
benteng2 lawan/daerah perbatasan
- Kaum muslimin
yang mengurusi zakat bagi orang2 yang enggan mengeluarkannya kecuali dipaksa, Semuanya
untuk kemaslahatan
5. Riqab/Hamba Sahaya (memerdekakan budak
belian )
Riqab adalah bentuk jamak dari raqabah,
istilah ini dalam Al qur’an artinya budak belian (abid) laki-laki. Seolah-olah
member isyarat dengan kiasan tersebut, bahwa membebaskan budak belian artinya
sama dengan menghilangkan tau melepaskan belenggu pengikatnya
Cara membebaskan budak ada 2 cara:
1. Menolong budak mukatab, budak yang sudah
ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, jika ia sanggup menghasilkan
harta dengan nilai tertentu dan ukuran
tertentu, maka bebaslah ia. (Hanifah, Syafi’I, Laits bin Sa’ad, hadits Ibnu
Abbas)
2. Seseorang dengan harta zakatnya atau
seseorang bersama temannya membeli seorang budak baik abid (budak
laki-laki)/amah (budak perempuan) untuk dibebaskan, atau pula penguasa yang
bertindak demikian. (Malik, Ahmad, Ishak, dan Ibnu Arabi
Menurut H.A. Hidayat, Lc. & H.
Hikmat Kurnia dalam Panduan Pintar Zakat, yang dimaksud hamba sahaya
yang disuruh menebus dirinya ialah seorang budak hamba sahaya, baik laki-laki
maupun perempuan yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh memerdekakan
dirinya dengan syarat harus menebusnya atau membayarnya dengan sejumlah harta
tertentu. Hamba ini diberi zakat sekadar
untuk memerdekakan dirinya.
Namun, mengingat golongan ini sekarang
tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahiq lain
menurut pendapat mayoritas ulama fikih (jumhur). Namun, sebagian ulama berpendapat
bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan
dan membantu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaannya.
6. Orang yang berhutang (gharimin)
Yusuf al Qaradhawi mengemukakan salah satu
kelompok yang termasuk gharimin adalah
Berhutang untuk kemaslahatan diri sendiri
1. kelompok pertama, adalah orang yang
mendapatkan berbagai bencana dan musibah, baik pada dirinya maupun hartanya,
sehingga mempunyai kebutuhan mendesak untuk meminjam bagi dirinya dan
keluarganya. Dalam sebuah riwayat di kemukakan oleh Imam Mujahid, ia berkata,
tiga kelompok orang yang termasuk mempunyai utang: orang yang hartanya terbawa
banjir, orang yang hartanya musnah terbakar, dan orang yang mempunyai keluarga
akan tetapi tidak mempunyai harta sehingga ia berutang untuk menafkahi
keluarganya itu.
2. Kelompok kedua adalah kelompok orang yang
mempunyai utang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain. Misalnya orang yang
terpaksa berutang karena sedang mendamaikan dua pihak atau dua orang yang
sedang bertentangan, yang untuk penyelesaiannya membutuhkan dana yang cukup
besar. Atau orang yang dan kelompok orang yang memiliki usaha kemanusiaan yang
mulia, yang terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan usaha lembaganya.
Misalnya yayasan sosial yang memelihara anak yatim, orang-orang lanjut usia,
orang-orang fakir, panitia pembangunan masjid, sekolah, perpustakaan, pondok
pesantren dan lain sebagainya.
Sumber: Oleh: KH. Didin Hafidhuddin (Ketua
Umum Badan Amil Zakat Nasional) dan Hukum Zakat
7. Fii Sabilillah
1. Pendapat Pertama
Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4
imam mazhab (hanafi, maliki, syafi'i dan hanbali) termasuk yang cenderung
kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin), merekamengatakan bahwa yang
termasuk fi sabilillah adalahpara peserta pertempuran pisik melawan musuh-musuh
Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.
Di kalangan ulama kontemporer yang
mendukung hal ini adalah Syeikh Muhammad Abu Zahrah.
Perbedaannya bukan dari segi dalil,
tetapi dari segi manhaj atau metodologi istimbath ahkam. Yaitu sebuah metode
yang merupakan logika dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fiqih dari
sumber-sumber Al-Quran dan Sunnah.
Mereka yang termasuk ke dalam pendapat
ini adalah Jumhur Ulama.Dalilnya karena di zaman Rasulullah SAW memang bagian
fi sabilillah tidak pernah digunakan untuk membangun masjid atau madrasah. Di
zaman itu hanya untuk mereka yang jihad secara pisik saja.
Para ulama jumhur mengatakan bahwa
para mujahidin di medan tempur mereka berhak menerima dana zakat, meskipun
secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi
kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh
para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada
di dalam kesatuan, di mana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari
kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang
kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang wajib dizakati dari
kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat,
wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.
Adapun bila kemudian dia ikut perang,
dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam
peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu
baru kemudian menerima dana zakat.
Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa
seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima
dana dari harta zakat.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan para ulama yang lain
cenderug meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta
perang pisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara yang mendukung pendapat ini
adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Farisdan Dr.
Yusuf Al-Qradawi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad
yang sifatnya agak luas serta bicara dalam konteks fiqih prioritas. Di masa
sekarang ini, lahan-lahan jihad fi sabilillah secara pisik boleh dibilang tidak
terlalu besar. Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini
terbengkalai perlu pasokan dana besar. Apalagi di negeri minoritas muslim
seperti di Amerika, Eropa dan Australia.
Siapa yang akan membiayai dakwah di
negeri-negeri tersebut, kalau bukan umat Islam. Dan bukankah pada hakikatnya
perang atau pun dakwah di negeri lawan punya tujuan yang sama, yaitu
menyebarkan agama Allah SWT dan menegakkannya.
Kalau yang dibutuhkan adalah jihad
bersenjata, maka dana zakat itu memang diperluakan untuk biaya jihad. Tapi
kalau kesempatan berdakwah secara damai di negeri itu terbuka lebar, bagaimana
mungkin biaya zakat tidak boleh digunakan. Bukankah tujuan jihad dan dakwah
sama saja?
Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz
Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, selain
jihad secara pisik, juga termasukdi antaranya adalah:
1)Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz
Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan
menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua merupakan jihad
fi sabilillah.
2)Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz
Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada
ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme,
kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi
pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.
3)Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk
mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa
menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam,
serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad fi
sabilillah.
4)Membantu para du'at Islam yang menghadapi
kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan
orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.
5)Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan
sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang
baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan
diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah
jihad fi sabilillah
Oleh Ahmad Sarwat, Lc.
8. Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah musafir yang
terputus bekalnya dalam perjalanan sehingga dia tidak bisa pulang ke negerinya.
Bagaimana dengan calon musafir? Pendapat pertama: dia tidak termasuk ibnu sabil
ini adalah pendapat jumhur, dengan alasan bahwa sabil adalah jalan, maka ibnu
sabil adalah orang jalanan yang ada di jalan bukan orang yang hendak jalan.
Kedua: muqim termasuk ibnu sabil bila dia hendak berangkat dari negerinya, akan
tetapi dia tidak mempunyai harta sebagai bekal dalam safarnya, ini adalah
madzhab Syafi’i, dengan mengqiyaskannya dengan musafir dalam arti yang sebenarnya.
Fatwa an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Muashirah kesembilan terkait dengan Ibnu Sabil:
Fatwa an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Muashirah kesembilan terkait dengan Ibnu Sabil:
1) Ibnu
sabil adalah musafir dalam arti yang sebenarnya, sejauh apa pun jarak
perjalanannya, yang membutuhkan bekal karena hilangnya harta atau habisnya
bekal, sekalipun dia adalah orang kaya di negerinya.
2) Syarat
memberikan zakat kepada ibnu sabil adalah:
- Hendaknya perjalannya bukan perjalanan maksiat.
- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.
- Hendaknya perjalannya bukan perjalanan maksiat.
- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.
3) Ibnu
sabil diberi sesuai dengan hajatnya berupa bekal, perhatian dan penginapan,
biaya perjalanan ke tempat yang dituju kemudian pulang ke negerinya.
4) Ibnu
sabil tidak dituntut untuk menghadirkan bukti atas lenyapnya harta dan habisnya
nafkah, kecuali bila keadaannya tidak menunjukkan hal itu.
5) Ibnu
sabil tidak wajib berhutang sekalipun ada orang yang mau memberinya hutang, dia
juga tidak wajib untuk bekerja sekalipun mampu bekerja.
6) Ibnu
sabil tidak wajib mengembalikan sisa bekal di tangannya dari harta zakat saat
dia sudah tiba di negerinya dan hartanya, sekalipun lebih baik baginya bila dia
mengembalikan sisa tersebut bila dia adalah orang yang berkecukupan ke Baituz
Zakah atau kepada salah satu pos penerima zakat.
7) Orang-orang
berikut ini termasuk ke dalam ibnu sabil dengan syarat dan ketentuan di atas:
- Penuntut
ilmu dan pencari kesembuhan (pengobatan).
- Para
da’i ke jalan Allah Ta'ala.
- Orang-orang
yang berperang di jalan Allah Ta'ala.
- Orang-orang
yang diusir dan dipindahkan dari negeri mereka atau tempat tinggal mereka. Atau
minta suaka
- Para
perantau yang hendak pulang kampung namun tidak memiliki bekal.
- Orang-orang
yang berhijrah yang berlari menyelamatkan agama mereka yang dihalang-halangi
untuk pulang ke negeri mereka atau mengambil harta mereka.
- Orang-orang
yang mengemban tugas dan para wartawan yang berusaha mewujudkan kemaslahatan
informasi syar’i.
- Tunawisma
- Anak
buangan
Gelandangan Termasuk Ibnu Sabil?
Pertama: termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr Yusuf al-Qardhawi. Alasannya orang-orang yang tidak bertempat tinggal adalah orang-orang jalanan, karena mereka tinggal di jalanan dan berlindung di jalanan, sehingga hukum mereka adalah sama dengan orang musafir yang terputus dari hartanya.
Kedua: bukan termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr Umar al-Asyqar. Alasannya bahwa mereka adalah orang-orang yang tinggal, mereka tidak berharta, sehingga mereka lebih berhak dikategorikan miskin.
Orang-orang di Perantauan demi Mencari Ilmu atau Untuk Bekerja
Sebagian kaum muslimin pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu atau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, dan selama di perantauannya tersebut dia membutuhkan biaya untuk menamatkan belajarnya atau unttk mencari pekerjaan, apakah disyariatkan memberinya dari pos ibnu sabil?
Jawaban dari pertanyaan ini terlihat melalui perincian tentang keadaan mereka. Pertama: mereka mempunyai harta di negeri mereka namun mereka tidak bisa mengambilnya atau memanfaatkannya:
Pertama: termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr Yusuf al-Qardhawi. Alasannya orang-orang yang tidak bertempat tinggal adalah orang-orang jalanan, karena mereka tinggal di jalanan dan berlindung di jalanan, sehingga hukum mereka adalah sama dengan orang musafir yang terputus dari hartanya.
Kedua: bukan termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr Umar al-Asyqar. Alasannya bahwa mereka adalah orang-orang yang tinggal, mereka tidak berharta, sehingga mereka lebih berhak dikategorikan miskin.
Orang-orang di Perantauan demi Mencari Ilmu atau Untuk Bekerja
Sebagian kaum muslimin pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu atau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, dan selama di perantauannya tersebut dia membutuhkan biaya untuk menamatkan belajarnya atau unttk mencari pekerjaan, apakah disyariatkan memberinya dari pos ibnu sabil?
Jawaban dari pertanyaan ini terlihat melalui perincian tentang keadaan mereka. Pertama: mereka mempunyai harta di negeri mereka namun mereka tidak bisa mengambilnya atau memanfaatkannya:
1) Mereka
telah tinggal menetap di negeri perantauan, maka mereka bukan ibnu sabil,
karena ibnu sabil hanya untuk musafir bukan muqim.
2) Mereka
belum tinggal menetap di negeri tersebut, keadaan mereka memiliki dua
kemungkinan:
A- Bila diduga mereka akan pulang dalam waktu dekat maka mereka diberi dari pos ibnu sabil kadar yang cukup untuk mereka pulang ke negeri mereka.
B- Bila mereka akan menetap dalam jangka waktu yang lama untuk belajar atau bekerja, maka mereka dihukumi muqim, hal ini menghalangi mereka untuk mengambil zakat dari pos ibnu sabil, bila mereka membutuhkan maka mereka diberi dari pos fakir dan miskin. Wallahu a'lam.
A- Bila diduga mereka akan pulang dalam waktu dekat maka mereka diberi dari pos ibnu sabil kadar yang cukup untuk mereka pulang ke negeri mereka.
B- Bila mereka akan menetap dalam jangka waktu yang lama untuk belajar atau bekerja, maka mereka dihukumi muqim, hal ini menghalangi mereka untuk mengambil zakat dari pos ibnu sabil, bila mereka membutuhkan maka mereka diberi dari pos fakir dan miskin. Wallahu a'lam.
http://www.alsofwah.or.id/cetakfiqih dan Hukum Zakat
14 kriteria masyarakat miskin menurut standar
BPS
Ada 14 kriteria yang dipergunakan
untuk menentukan keluarga/ rumah tangga dikategorikan miskin adalah:
1. Luas
lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis
lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu / kayu murahan
3. Jenis
dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok
tanpa diplester
4. Tidak
memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain
5. Sumber
penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6. Sumber
air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /air hujan
7. Bahan
bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah
8. Hanya
mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu
9. Hanya
membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya
sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari
11. Tidak
sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik
12. Sumber
penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh
tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya
dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
13. Pendidikan
tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD/ hanya SD
14. Tidak
memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,-
seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau
barang modal lainnya.
Jika minimal 9
variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga
miskin.
Semoga bermanfaat!!!
Wallahu a’lam bishshowab
Zakat emang bermanfaat sosial
BalasHapus