Selasa, 02 Oktober 2012

Sekilas Mustahik Zakat



Masarif zakat


 (QS. 9 : 60)menjelaskan tentang mustahik zakat

1. Fakir
Beberapa ulama memiliki pendapat masing-masing tentang arti dari fakir. Kempat ulama itu adalah Syafi'i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Berikut adalah arti fakir dari masing-masing Imam:

Syafi'i: Fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha; atau mempunyai usaha atau harta yang kurang dari seperdua kecukupannya, dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya.
Hanafi: Fakir ialah orang yang mempunyai harta kurang dari senishab atau mempunyai senishab atau lebih, tetapi habis untuk memenuhi kebutuhannya
Hambali: Fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta kurang dari seperdua keperluannya.
Maliki: Fakir ialah orang yang mempunyai harta, sedang hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya dalam masa satu tahun, atau orang yang memiliki penghasilan tapi tidak mencukupi kebutuhannya, maka diberi zakat sekadar mencukupi kebutuhannya.
Dr. Yusuf Qardhawi: Orang yang tidak mempunyai harta dan usaha sama sekali, atau mempunyai harta atau usaha tetapi tidak mencukupi untuk diri sendiri dan keluarganya ( penghasilan tidak memenuhibseparuhbatau kurang dari kebutuhan)mata pencaharian, tetapi penghasilannya tidak mencapai separuh dari yang dibutuhkannya.
2. Miskin
Syafi’I, Hambali, dan Maliki: Orang yang masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Dr. Yusuf Qardhawi: Orang yang mempunyai mata pencaharian, dan penghasilannya mencapai separuh atau lebih dari yang dibutuhkan, namun belum mencukupinya.
3. Amil zakat
Syarat-syarat amil zakat
Muslim (utama), mukallaf (sht akal), shiddiq, paham hukum zakat,  kuat (mampu) QS. 28 : 26, laki2 (utama), merdeka (utama)
4. Muallaf
- Orang yang diharapkan keislamanannya atau kesilaman kelompok atau keluarganya
- Orang atau gol. Yang dikuatirkan berbuat jahat(mencegah kejahatannya)
- Orang atau gol. Yg baru masuk Islam (walau kaya)
- Pemimpin/tomasy yg telah masuk Islam dan punya sahabat2 kafir (menarik simpati)
- Pemimpin/tokoh kaum muslimin yg berpengaruh di kalangannnya, tapi imannya masih lemah (munafik, lemah iman)
- Kaum muslimin yang berada di benteng2 lawan/daerah perbatasan
- Kaum muslimin yang mengurusi zakat bagi orang2 yang enggan mengeluarkannya kecuali dipaksa, Semuanya untuk kemaslahatan
5. Riqab/Hamba Sahaya (memerdekakan budak belian )
Riqab adalah bentuk jamak dari raqabah, istilah ini dalam Al qur’an artinya budak belian (abid) laki-laki. Seolah-olah member isyarat dengan kiasan tersebut, bahwa membebaskan budak belian artinya sama dengan menghilangkan tau melepaskan belenggu pengikatnya
Cara membebaskan budak ada 2 cara:
1. Menolong budak mukatab, budak yang sudah ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, jika ia sanggup menghasilkan harta  dengan nilai tertentu dan ukuran tertentu, maka bebaslah ia. (Hanifah, Syafi’I, Laits bin Sa’ad, hadits Ibnu Abbas)
2. Seseorang dengan harta zakatnya atau seseorang bersama temannya membeli seorang budak baik abid (budak laki-laki)/amah (budak perempuan) untuk dibebaskan, atau pula penguasa yang bertindak demikian. (Malik, Ahmad, Ishak, dan Ibnu Arabi
Menurut H.A. Hidayat, Lc. & H. Hikmat Kurnia dalam Panduan Pintar Zakat, yang dimaksud hamba sahaya yang disuruh menebus dirinya ialah seorang budak hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh memerdekakan dirinya dengan syarat harus menebusnya atau membayarnya dengan sejumlah harta tertentu. Hamba ini diberi zakat sekadar untuk memerdekakan dirinya.
Namun, mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahiq lain menurut pendapat mayoritas ulama fikih (jumhur). Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan dan membantu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaannya.
6. Orang yang berhutang (gharimin)
Yusuf al Qaradhawi mengemukakan salah satu kelompok yang termasuk gharimin adalah
Berhutang untuk kemaslahatan diri sendiri
1. kelompok pertama, adalah orang yang mendapatkan berbagai bencana dan musibah, baik pada dirinya maupun hartanya, sehingga mempunyai kebutuhan mendesak untuk meminjam bagi dirinya dan keluarganya. Dalam sebuah riwayat di kemukakan oleh Imam Mujahid, ia berkata, tiga kelompok orang yang termasuk mempunyai utang: orang yang hartanya terbawa banjir, orang yang hartanya musnah terbakar, dan orang yang mempunyai keluarga akan tetapi tidak mempunyai harta sehingga ia berutang untuk menafkahi keluarganya itu.
2. Kelompok kedua adalah kelompok orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain. Misalnya orang yang terpaksa berutang karena sedang mendamaikan dua pihak atau dua orang yang sedang bertentangan, yang untuk penyelesaiannya membutuhkan dana yang cukup besar. Atau orang yang dan kelompok orang yang memiliki usaha kemanusiaan yang mulia, yang terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan usaha lembaganya. Misalnya yayasan sosial yang memelihara anak yatim, orang-orang lanjut usia, orang-orang fakir, panitia pembangunan masjid, sekolah, perpustakaan, pondok pesantren dan lain sebagainya.
Sumber: Oleh: KH. Didin Hafidhuddin (Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional) dan Hukum Zakat
7. Fii Sabilillah
1. Pendapat Pertama
Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab (hanafi, maliki, syafi'i dan hanbali) termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin), merekamengatakan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalahpara peserta pertempuran pisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.
Di kalangan ulama kontemporer yang mendukung hal ini adalah Syeikh Muhammad Abu Zahrah.
Perbedaannya bukan dari segi dalil, tetapi dari segi manhaj atau metodologi istimbath ahkam. Yaitu sebuah metode yang merupakan logika dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fiqih dari sumber-sumber Al-Quran dan Sunnah.
Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur Ulama.Dalilnya karena di zaman Rasulullah SAW memang bagian fi sabilillah tidak pernah digunakan untuk membangun masjid atau madrasah. Di zaman itu hanya untuk mereka yang jihad secara pisik saja.
Para ulama jumhur mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur mereka berhak menerima dana zakat, meskipun secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.
Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat.
Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan para ulama yang lain cenderug meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang pisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Farisdan Dr. Yusuf Al-Qradawi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta bicara dalam konteks fiqih prioritas. Di masa sekarang ini, lahan-lahan jihad fi sabilillah secara pisik boleh dibilang tidak terlalu besar. Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini terbengkalai perlu pasokan dana besar. Apalagi di negeri minoritas muslim seperti di Amerika, Eropa dan Australia.
Siapa yang akan membiayai dakwah di negeri-negeri tersebut, kalau bukan umat Islam. Dan bukankah pada hakikatnya perang atau pun dakwah di negeri lawan punya tujuan yang sama, yaitu menyebarkan agama Allah SWT dan menegakkannya.
Kalau yang dibutuhkan adalah jihad bersenjata, maka dana zakat itu memang diperluakan untuk biaya jihad. Tapi kalau kesempatan berdakwah secara damai di negeri itu terbuka lebar, bagaimana mungkin biaya zakat tidak boleh digunakan. Bukankah tujuan jihad dan dakwah sama saja?
Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, selain jihad secara pisik, juga termasukdi antaranya adalah:
1)Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua merupakan jihad fi sabilillah.
2)Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.
3)Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad fi sabilillah.
4)Membantu para du'at Islam yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.
5)Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah
Oleh Ahmad Sarwat, Lc.
8. Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah musafir yang terputus bekalnya dalam perjalanan sehingga dia tidak bisa pulang ke negerinya. Bagaimana dengan calon musafir? Pendapat pertama: dia tidak termasuk ibnu sabil ini adalah pendapat jumhur, dengan alasan bahwa sabil adalah jalan, maka ibnu sabil adalah orang jalanan yang ada di jalan bukan orang yang hendak jalan. Kedua: muqim termasuk ibnu sabil bila dia hendak berangkat dari negerinya, akan tetapi dia tidak mempunyai harta sebagai bekal dalam safarnya, ini adalah madzhab Syafi’i, dengan mengqiyaskannya dengan musafir dalam arti yang sebenarnya.

Fatwa an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Muashirah kesembilan terkait dengan Ibnu Sabil:

1)     Ibnu sabil adalah musafir dalam arti yang sebenarnya, sejauh apa pun jarak perjalanannya, yang membutuhkan bekal karena hilangnya harta atau habisnya bekal, sekalipun dia adalah orang kaya di negerinya.
2)     Syarat memberikan zakat kepada ibnu sabil adalah:
- Hendaknya perjalannya bukan perjalanan maksiat.
- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.
3)     Ibnu sabil diberi sesuai dengan hajatnya berupa bekal, perhatian dan penginapan, biaya perjalanan ke tempat yang dituju kemudian pulang ke negerinya.
4)     Ibnu sabil tidak dituntut untuk menghadirkan bukti atas lenyapnya harta dan habisnya nafkah, kecuali bila keadaannya tidak menunjukkan hal itu.
5)     Ibnu sabil tidak wajib berhutang sekalipun ada orang yang mau memberinya hutang, dia juga tidak wajib untuk bekerja sekalipun mampu bekerja.
6)     Ibnu sabil tidak wajib mengembalikan sisa bekal di tangannya dari harta zakat saat dia sudah tiba di negerinya dan hartanya, sekalipun lebih baik baginya bila dia mengembalikan sisa tersebut bila dia adalah orang yang berkecukupan ke Baituz Zakah atau kepada salah satu pos penerima zakat.
7)     Orang-orang berikut ini termasuk ke dalam ibnu sabil dengan syarat dan ketentuan di atas:
-     Penuntut ilmu dan pencari kesembuhan (pengobatan).
-     Para da’i ke jalan Allah Ta'ala.
-     Orang-orang yang berperang di jalan Allah Ta'ala.
-     Orang-orang yang diusir dan dipindahkan dari negeri mereka atau tempat tinggal mereka. Atau minta suaka
-     Para perantau yang hendak pulang kampung namun tidak memiliki bekal.
-     Orang-orang yang berhijrah yang berlari menyelamatkan agama mereka yang dihalang-halangi untuk pulang ke negeri mereka atau mengambil harta mereka.
-     Orang-orang yang mengemban tugas dan para wartawan yang berusaha mewujudkan kemaslahatan informasi syar’i.
-     Tunawisma
-     Anak buangan

Gelandangan Termasuk Ibnu Sabil?

Pertama: termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr Yusuf al-Qardhawi. Alasannya orang-orang yang tidak bertempat tinggal adalah orang-orang jalanan, karena mereka tinggal di jalanan dan berlindung di jalanan, sehingga hukum mereka adalah sama dengan orang musafir yang terputus dari hartanya.

Kedua: bukan termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr Umar al-Asyqar. Alasannya bahwa mereka adalah orang-orang yang tinggal, mereka tidak berharta, sehingga mereka lebih berhak dikategorikan miskin.

Orang-orang di Perantauan demi Mencari Ilmu atau Untuk Bekerja

Sebagian kaum muslimin pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu atau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, dan selama di perantauannya tersebut dia membutuhkan biaya untuk menamatkan belajarnya atau unttk mencari pekerjaan, apakah disyariatkan memberinya dari pos ibnu sabil?
Jawaban dari pertanyaan ini terlihat melalui perincian tentang keadaan mereka. Pertama: mereka mempunyai harta di negeri mereka namun mereka tidak bisa mengambilnya atau memanfaatkannya:

1) Mereka telah tinggal menetap di negeri perantauan, maka mereka bukan ibnu sabil, karena ibnu sabil hanya untuk musafir bukan muqim.
2) Mereka belum tinggal menetap di negeri tersebut, keadaan mereka memiliki dua kemungkinan:

A- Bila diduga mereka akan pulang dalam waktu dekat maka mereka diberi dari pos ibnu sabil kadar yang cukup untuk mereka pulang ke negeri mereka.

B- Bila mereka akan menetap dalam jangka waktu yang lama untuk belajar atau bekerja, maka mereka dihukumi muqim, hal ini menghalangi mereka untuk mengambil zakat dari pos ibnu sabil, bila mereka membutuhkan maka mereka diberi dari pos fakir dan miskin. Wallahu a'lam.
14 kriteria masyarakat miskin menurut standar BPS
Ada 14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan keluarga/ rumah tangga dikategorikan miskin adalah:
1.      Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2.      Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu / kayu murahan
3.      Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester
4.      Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain
5.      Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6.      Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /air hujan
7.      Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah
8.      Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu
9.      Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10.    Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari
11.    Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik
12.    Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
13.    Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD/ hanya SD
14.    Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

Semoga bermanfaat!!!
Wallahu a’lam bishshowab

1 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Berkah Bersama Islam - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger