Rabu, 09 Mei 2012

Kisahku Indahkan

Kisahku Indahkan
Taufiqur Rohman
Dhmmmmm…, sepasang mata, dengan penuh selidik menatap dua lembar kertas yang tertempel seri di sebuah papan yang nongkrong di dinding kantor. Sudah beberapa episode aku sempatkan untuk sepintas membaca paragraf demi paragraf guratan printer buah karya asatidz SMP/SMA-IT Al Uswah Surabaya yang terbingkai dalam sebuah tema Catatan Indah Guru.
Beraneka ragam catatan yang dituangkan, ada pengalaman mengajar, ketika berinteraksi dengan siswa dalam sebuah perdebatan masalah wudhu, opini, bahkan ada juga kisah dari siswa yang dibingkai dengan apik bersulam gramatika dan diksi yang menawan.
Belum lama aku terbuai dengan catatan-catatan indah itu, seorang Ustadzah menyapa, “Ustadz, jangan lupa catatan indahnya, ya!”
Berlagak cuek aku menjawab “Kan masih lama, Ustadzah!”
Selang beberapa menit, kuhampiri papan informasi yang mematung di koridor kantor, ternyata tertulis di sana Taufiqurohman 7 – 12 Mei.
Ughhhhhhh…, apa yang akan aku tulis ya…??? Pada hal tiga hari sebelum deadline, tulisan itu harus diserahjan pada Bag. Tata Usaha (TU). Alhamdulillah, ternyata TU-nya tidak masuk. Jadi aku masih punya sedikit waktu untuk merangkai kata jadi cerita. Dengan harap-harap cemas, mudah-mudahan tidak ada yang membacanya…
Heeeeeeeemmm.., helaan nafasku mengawali segenap rasa dan pikir menyatu dengan lentik jemari menari kaku di atas balok-balok huruf yang berderet rapi di keyboard laptop. Senyampang dengan hal itu muncullah sesosok tubuh berseragam pramuka, seraya berkata, “Ustadz, bareng, ya…?.”
Siswa SMP yang duduk di kelas paling buncit dengan penuh keibaan meminta untuk nebeng pulang bersama.
Belum sempat aku menjawab, dia kembali berkata, “Aku sebentar lagi lulus kan, nanti kalau udah kerja, akan aku balas budi Ustadz.”
Antara percaya dan tidak, aku menyahut, “Ya, ayo sekarang!”
Dalam benakku membuncah sebuah do’a, “Ya, Allah kabulkan permohonan lugunya, bimbing ia menitihi jalan keridhoan-Mu.”
Urunglah jemari ini beraksi menuangkan kreatifitasnya. Laptop kututup, kumasukkan tas, lalu beranjak pulang. Itulah sedikit intermezzo yang membumbui pra-catatan ini.
Dalam kesendirian, teringatlah sebuah kalimat Dadinen wong sing gede rumongso, jo dadi wong sing rumongso gede”. Peribahasa jawa yang syarat akan filosofi kehidupan. Ini adalah kata-kata yang sejak aku mendengarnya, masuk telinga kanan, membaja dalam memori otak, ditransfer denyut jantung, dan bersenyawa dengan darah yang didistribusikan ke seluruh tubuh.
Sedikit mengupas arti dari peribahasa tersebut ibarat mengambil kulit luar dari buah sebelum mencicipi legitnya.
Dadinen wong sing gede rumongso, jo dadi wong sing rumongso gede. Jadilah orang yang pandai instropeksi diri, jangan jadi orang yang merasa lebih dibanding yang lain.
Filosofi ini senada dengan mahfudhat Arab yang berbunyi
Thuubaa li man syaghala ‘aibuhu min ‘uyuubin an-naas
 “Beruntunglah bagi orang-orang yang disibukkan oleh ‘aibnya sendiri daripada mengurusi ‘aib orang lain.”
Di hening kontemplasi diri, nuraniku sekan menjelma bagai bayangan, mengendap-endap keluar dari persembunyiannya. Memaki dengan senyum penuh cibir, sambil berkata, “Itulah mengapa Allah menciptakan 2 buah telinga, 2 mata, sepasang hati. Agar Kamu lebih banyak mendengar, memperhatikan, menganalisis, menelaah, memahi, dan berempati segala atas yang terjadi padamu, pada orang lain, dan lingkungan sekitar.”
“Bukan banyak menafsirkan, menyimpulkan, ataupun membatah semua hal yang dikritisi orang. Jangan pernah Kau beranggan-anggan, bahkan berharap dapat merengkuh hal yang besar, jika sekeping kebaikan Engkau acuhkan.”
“La tahqiranna minal ma’ruufi syai’an walau an talqaa akhaaka bi wajhin thaliiqin”.
“Jangan menyepelekan kebaikan walupun hanya bermuka manis (ramah etika) ketika bersua saudaramu.”
Bayangan itu menuruskan petuahnya.” Ada hal kecil yang menjadi fenomena besar dalam dirimu, di mana Kau ingin semua hal perfeksionis, berjalan sesuai planning sejalan dengan aturan yang ada. Menuntut orang lain untuk berubah pada pencerahan, namun lalai pada dirimu sendiri.”
Tiada henti dia terus menghujaniku dengan pertanyaan. “Apakah telah cukup kesempurnaan ilmumu sehingga jongkak meraba segala kelemahan diri?” “Sudahkah tiada cela kepribadianmu, hingga mudah mencoreng arang di hidung saudaramu?”
Di tengah brondongan kata yang memojokkan kredibilitasku, aku hanya bisa menunduk lesu, seraya berkata, maafkan aku wahai nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Berkah Bersama Islam - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger