Taufiqur Rohman
Dhmmmmm…, sepasang mata, dengan penuh selidik menatap dua lembar kertas
yang tertempel seri di sebuah papan yang nongkrong di dinding kantor.
Sudah beberapa episode aku sempatkan untuk sepintas membaca paragraf demi paragraf
guratan printer buah karya asatidz SMP/SMA-IT Al Uswah Surabaya yang terbingkai
dalam sebuah tema Catatan Indah Guru.
Beraneka ragam catatan yang dituangkan, ada pengalaman mengajar, ketika
berinteraksi dengan siswa dalam sebuah perdebatan masalah wudhu, opini, bahkan
ada juga kisah dari siswa yang dibingkai dengan apik bersulam gramatika dan
diksi yang menawan.
Belum lama aku terbuai dengan catatan-catatan indah itu, seorang Ustadzah
menyapa, “Ustadz, jangan lupa catatan indahnya, ya!”
Berlagak cuek aku menjawab “Kan masih lama, Ustadzah!”
Selang beberapa menit, kuhampiri papan informasi yang mematung di
koridor kantor, ternyata tertulis di sana Taufiqurohman 7 – 12 Mei.
Ughhhhhhh…, apa yang akan aku tulis ya…??? Pada hal tiga hari sebelum deadline,
tulisan itu harus diserahjan pada Bag. Tata Usaha (TU). Alhamdulillah, ternyata
TU-nya tidak masuk. Jadi aku masih punya sedikit waktu untuk merangkai kata
jadi cerita. Dengan harap-harap cemas, mudah-mudahan tidak ada yang membacanya…
Heeeeeeeemmm.., helaan nafasku mengawali segenap rasa dan pikir menyatu
dengan lentik jemari menari kaku di atas balok-balok huruf yang berderet rapi
di keyboard laptop. Senyampang dengan hal itu muncullah sesosok tubuh
berseragam pramuka, seraya berkata, “Ustadz, bareng, ya…?.”
Siswa SMP yang duduk di kelas paling buncit dengan penuh keibaan meminta
untuk nebeng pulang bersama.
Belum sempat aku menjawab, dia kembali berkata, “Aku sebentar lagi lulus
kan, nanti kalau udah kerja, akan aku balas budi Ustadz.”
Antara percaya dan tidak, aku menyahut, “Ya, ayo sekarang!”
Dalam benakku membuncah sebuah do’a, “Ya, Allah kabulkan permohonan
lugunya, bimbing ia menitihi jalan keridhoan-Mu.”
Urunglah jemari ini beraksi menuangkan kreatifitasnya. Laptop kututup,
kumasukkan tas, lalu beranjak pulang. Itulah sedikit intermezzo yang
membumbui pra-catatan ini.
Dalam kesendirian, teringatlah sebuah kalimat
“Dadinen wong sing gede
rumongso, jo dadi wong sing rumongso gede”. Peribahasa jawa yang syarat akan filosofi kehidupan. Ini adalah
kata-kata yang sejak aku mendengarnya, masuk telinga kanan, membaja dalam
memori otak, ditransfer denyut jantung, dan bersenyawa dengan darah yang didistribusikan
ke seluruh tubuh.
Sedikit mengupas arti dari peribahasa tersebut ibarat mengambil kulit
luar dari buah sebelum mencicipi legitnya.
Dadinen wong sing gede rumongso, jo dadi
wong sing rumongso gede. Jadilah
orang yang pandai instropeksi diri, jangan jadi orang yang merasa lebih
dibanding yang lain.
Filosofi ini senada dengan mahfudhat Arab yang berbunyi
Thuubaa li man syaghala
‘aibuhu min ‘uyuubin an-naas
“Beruntunglah
bagi orang-orang yang disibukkan oleh ‘aibnya sendiri daripada mengurusi ‘aib
orang lain.”
Di hening kontemplasi diri, nuraniku sekan menjelma bagai bayangan, mengendap-endap
keluar dari persembunyiannya. Memaki dengan senyum penuh cibir, sambil berkata,
“Itulah mengapa Allah menciptakan 2 buah telinga, 2 mata, sepasang hati. Agar Kamu
lebih banyak mendengar, memperhatikan, menganalisis, menelaah, memahi, dan berempati
segala atas yang terjadi padamu, pada orang lain, dan lingkungan sekitar.”
“Bukan banyak menafsirkan, menyimpulkan, ataupun membatah semua hal yang
dikritisi orang. Jangan pernah Kau beranggan-anggan, bahkan berharap dapat
merengkuh hal yang besar, jika sekeping kebaikan Engkau acuhkan.”
“La tahqiranna minal ma’ruufi syai’an walau
an talqaa akhaaka bi wajhin thaliiqin”.
“Jangan menyepelekan kebaikan walupun hanya bermuka manis (ramah etika) ketika bersua saudaramu.”
Bayangan itu menuruskan petuahnya.” Ada hal kecil yang menjadi fenomena besar
dalam dirimu, di mana Kau ingin semua hal perfeksionis, berjalan sesuai planning
sejalan dengan aturan yang ada. Menuntut orang lain untuk berubah pada pencerahan,
namun lalai pada dirimu sendiri.”
Tiada henti dia terus menghujaniku dengan pertanyaan. “Apakah telah
cukup kesempurnaan ilmumu sehingga jongkak meraba segala kelemahan diri?” “Sudahkah
tiada cela kepribadianmu, hingga mudah mencoreng arang di hidung saudaramu?”
Di tengah brondongan kata yang memojokkan kredibilitasku, aku
hanya bisa menunduk lesu, seraya berkata, maafkan aku wahai nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar